Perkembangan Sastra Melayu Klasik pada Abad ke-17 - Sastra Melayu klasik merupakan salah satu elemen penting dalam sejarah kebudayaan Melayu. Pada abad ke-17, sastra Melayu mengalami perkembangan pesat, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti penyebaran agama Islam, interaksi dengan kebudayaan luar, dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya di kawasan Aceh, Malaka, dan Johor. Pada periode ini, sastra Melayu klasik tidak hanya berkembang dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan, yang diwarnai dengan pengaruh agama, politik, dan filosofi.
Artikel ini akan mengulas perkembangan sastra Melayu klasik pada abad ke-17, dengan fokus pada pengaruh budaya Islam, tokoh-tokoh penting yang berperan, serta bentuk-bentuk karya sastra yang muncul dan berkembang pada masa tersebut.
1. Pengaruh Islam dalam Sastra Melayu pada Abad ke-17
Pada abad ke-17, Islam memainkan peran penting dalam perkembangan sastra Melayu. Proses penyebaran agama Islam melalui perdagangan, dakwah, dan interaksi dengan ulama dari Timur Tengah dan India membawa pengaruh besar dalam kehidupan sosial dan budaya Melayu, termasuk dalam sastra.
Sastra Melayu klasik pada abad ini banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, terutama ajaran tasawuf atau sufisme, yang memperkenalkan konsep-konsep mistik yang mendalam dalam karya sastra. Pengaruh Islam ini dapat terlihat dalam karya-karya penyair dan pengarang Melayu seperti Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai pelopor sastra sufistik di dunia Melayu.
Hamzah Fansuri (1550-1590), yang berasal dari Aceh, adalah salah satu tokoh besar dalam sastra Melayu abad ke-17 yang memperkenalkan ajaran sufisme melalui syair dan pantun. Karya-karya Hamzah Fansuri, seperti Syair Perjalanan Ke Mekah dan Syair Burung Pungguk, mengandung unsur-unsur tasawuf yang mendalam, menggabungkan ajaran spiritual Islam dengan bahasa Melayu yang indah dan sarat makna. Menurut penelitian oleh Zubaidah (2017), karya-karya Hamzah Fansuri tidak hanya menggambarkan perjalanan spiritualnya, tetapi juga mengungkapkan pandangan tasawuf yang menjadikan sastra Melayu lebih filosofis dan kontemplatif. Karya-karyanya memiliki daya tarik besar karena mampu menghubungkan dunia batiniah dengan dunia eksternal.
Referensi:
- Zubaidah, S. (2017). Hamzah Fansuri: Penerjemah Sufi dalam Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Sufi.
Selain itu, pengaruh ajaran Islam juga memperkenalkan bentuk-bentuk baru dalam sastra, seperti hikayat dan syair, yang banyak mengandung ajaran moral, sejarah Islam, serta penggambaran dunia akhirat. Sastra yang berkembang pada abad ke-17, lebih banyak mencerminkan pandangan hidup berdasarkan ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai kesetiaan, keberanian, dan kesucian.
2. Perkembangan Sastra di Aceh pada Abad ke-17
Aceh pada abad ke-17 adalah pusat kebudayaan dan pendidikan Islam di dunia Melayu. Sebagai kerajaan yang kuat, Aceh menjadi tempat berkembangnya sastra Melayu yang dipengaruhi oleh budaya Islam. Di sinilah karya-karya sufi, serta karya-karya yang berhubungan dengan ajaran Islam, berkembang pesat.
Salah satu tokoh penting dalam sastra Melayu pada abad ke-17 adalah Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri, seorang ulama dan pemikir sufi yang sangat berpengaruh. Karya-karya Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri, seperti Tafsir al-Burhan, yang merupakan tafsir al-Qur'an dalam bahasa Melayu, menunjukkan peran besar Aceh dalam pengembangan sastra agama Islam. Karya ini tidak hanya berfungsi sebagai alat pemahaman ajaran agama, tetapi juga memperkenalkan konsep-konsep sufistik yang menjadi bagian penting dalam sastra Melayu.
Menurut Hasan (2015), Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri juga berperan sebagai penghubung antara dunia ilmiah dan sastra, menggabungkan kajian keagamaan dengan estetika sastra Melayu. Dalam karyanya, ia menyelipkan pengajaran tentang tasawuf, yang menekankan pada pencarian kedekatan dengan Tuhan dan pengabdian dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi:
- Hasan, M. (2015). Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri: Sufi dan Pengaruhnya dalam Sastra Melayu Klasik. Aceh: Yayasan Ilmu Pengetahuan.
Selain itu, kerajaan Aceh juga mendukung perkembangan karya sastra melalui pendirian lembaga pendidikan dan kesusastraan. Oleh karena itu, banyak karya sastra di Aceh pada abad ke-17 yang dipengaruhi oleh ajaran tasawuf dan agama Islam, yang masih relevan hingga saat ini dalam dunia sastra Melayu.
3. Perkembangan Sastra di Malaka dan Johor
Selain Aceh, kerajaan-kerajaan Melayu lainnya, seperti Malaka dan Johor, juga turut berperan dalam perkembangan sastra Melayu klasik pada abad ke-17. Pada masa itu, Malaka masih menjadi pusat perdagangan dan budaya, meskipun pada pertengahan abad tersebut, Malaka telah jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Meskipun demikian, pengaruh budaya dan bahasa Melayu tetap kuat, terutama di kerajaan Johor yang mengambil alih peran Malaka sebagai pusat kebudayaan Melayu.
Di Malaka dan Johor, sastra Melayu berkembang dalam bentuk hikayat-hikayat yang menggambarkan cerita-cerita kepahlawanan, sejarah kerajaan, dan ajaran moral. Salah satu karya besar dari periode ini adalah Hikayat Hang Tuah, yang mengisahkan tentang pahlawan Melayu, Hang Tuah, dan petualangannya. Meskipun karya ini diperkirakan telah ditulis lebih awal, namun pada abad ke-17, Hikayat Hang Tuah semakin dikenal dan menjadi bagian penting dalam tradisi sastra Melayu.
Menurut Nasution (2012), Hikayat Hang Tuah adalah salah satu contoh terbaik dari sastra Melayu yang mengandung nilai-nilai kepahlawanan, kesetiaan, dan kebijaksanaan, yang sangat dihargai oleh masyarakat Melayu pada masa itu. Karya ini menggambarkan konsep-konsep moral yang berlaku dalam kehidupan kerajaan dan masyarakat Melayu, serta menjadi alat untuk mengajarkan generasi muda tentang nilai-nilai luhur yang harus mereka pelihara.
Referensi:
- Nasution, T. (2012). Hikayat Hang Tuah dan Peranannya dalam Sastra Melayu Klasik. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
4. Perkembangan Bentuk Sastra dan Gaya Bahasa
Pada abad ke-17, sastra Melayu mengalami perkembangan dalam hal bentuk dan gaya bahasa. Bentuk sastra yang paling dominan pada masa ini adalah hikayat dan syair, yang digunakan untuk menyampaikan cerita epik, sejarah kerajaan, serta ajaran moral.
Hikayat adalah bentuk prosa yang digunakan untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, perjalanan spiritual, atau sejarah kerajaan. Bentuk ini sering kali mengandung unsur-unsur magis dan simbolik, yang menggambarkan hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib atau Tuhan. Syair, di sisi lain, merupakan bentuk puisi yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan, ajaran moral, serta pandangan dunia.
Dalam hal gaya bahasa, sastra Melayu abad ke-17 banyak dipengaruhi oleh gaya bahasa Arab dan Persia, terutama dalam karya-karya yang berhubungan dengan ajaran Islam. Banyak kata-kata Arab dan Persia yang masuk ke dalam bahasa Melayu, sehingga menciptakan gaya bahasa yang lebih kompleks dan berornamen. Karya-karya seperti syair yang ditulis oleh Hamzah Fansuri dan Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri menunjukkan pengaruh bahasa Arab yang kaya dan berbobot dalam sastra Melayu.
Referensi:
- Junus, A. (2000). Abdullah Munsyi dan Perkembangan Sastra Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
5. Kontribusi Tokoh-Tokoh Sastra pada Abad ke-17
Pada abad ke-17, banyak tokoh sastra yang memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan sastra Melayu. Selain Hamzah Fansuri dan Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri, tokoh lainnya seperti Raja Ali Haji, seorang penyair dan sejarawan, juga memainkan peran penting. Raja Ali Haji menulis karya-karya yang memperkenalkan sejarah dan budaya Melayu dalam bentuk yang lebih sistematis dan terstruktur, seperti Tuhfat al-Nafis, yang merupakan sebuah karya sejarah yang menggambarkan perkembangan kebudayaan Melayu di wilayah Riau.
Raja Ali Haji tidak hanya menulis sastra dalam bentuk hikayat dan syair, tetapi juga berperan dalam pembinaan bahasa dan tata bahasa Melayu. Dalam karya-karyanya, ia banyak mengangkat tema-tema sejarah, adat, dan kebudayaan Melayu, yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Melayu pada abad ke-17 dan seterusnya.
Referensi:
- Rijal, S. (2011). Raja Ali Haji: Pemikir dan Penyair Melayu. Jakarta: Lembaga Penelitian Kebudayaan Melayu.
6. Kesimpulan: Sastra Melayu Abad ke-17 sebagai Warisan Budaya
Perkembangan sastra Melayu klasik pada abad ke-17 merupakan cermin dari pengaruh agama Islam, politik, dan budaya dalam masyarakat Melayu. Sastra Melayu tidak hanya mencerminkan kehidupan sosial dan budaya masyarakat Melayu pada masa itu, tetapi juga menggambarkan pencarian spiritual dan pencapaian intelektual para tokoh besar seperti Hamzah Fansuri, Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri, dan Raja Ali Haji.
Melalui karya-karya mereka, sastra Melayu abad ke-17 menggabungkan elemen-elemen spiritual, moral, dan estetika yang memberikan warisan budaya yang berharga bagi dunia sastra Melayu hingga saat ini. Sastra Melayu pada abad ke-17 bukan hanya mencerminkan keindahan bahasa, tetapi juga menggambarkan nilai-nilai luhur yang terus hidup dalam budaya Melayu.
Referensi:
- Zubaidah, S. (2017). Hamzah Fansuri: Penerjemah Sufi dalam Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Sufi.
- Hasan, M. (2015). Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri: Sufi dan Pengaruhnya dalam Sastra Melayu Klasik. Aceh: Yayasan Ilmu Pengetahuan.
- Nasution, T. (2012). Hikayat Hang Tuah dan Peranannya dalam Sastra Melayu Klasik. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
- Rijal, S. (2011). Raja Ali Haji: Pemikir dan Penyair Melayu. Jakarta: Lembaga Penelitian Kebudayaan Melayu.