Perbedaan Sastra Melayu Klasik dan Sastra Melayu Modern - Sastra Melayu adalah salah satu warisan budaya yang sangat kaya, dengan sejarah panjang yang telah membentuk identitas dan tradisi sastra di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei. Dari zaman klasik hingga modern, sastra Melayu mengalami perubahan yang signifikan, baik dalam bentuk, tema, gaya bahasa, maupun tujuan penulisannya. Dua kategori yang sangat penting dalam perkembangan sastra Melayu adalah sastra Melayu klasik dan sastra Melayu modern. Meskipun keduanya berasal dari tradisi yang sama, terdapat perbedaan mendalam antara keduanya.
Artikel ini bertujuan untuk menggali perbedaan antara sastra Melayu klasik dan sastra Melayu modern, baik dari sisi sejarah, ciri khas, dan perkembangan, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana perubahan dalam konteks sosial, budaya, dan politik mempengaruhi sastra di kedua periode ini.
1. Definisi Sastra Melayu Klasik dan Sastra Melayu Modern
Sastra Melayu klasik merujuk pada karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu yang berkembang sebelum abad ke-20, yang umumnya mengandung unsur-unsur tradisi lisan, religiusitas, mitologi, serta nilai-nilai moral yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Melayu pada masa itu. Sastra ini dipengaruhi oleh agama Islam yang masuk ke dunia Melayu pada abad ke-13 hingga 15, dan mencakup berbagai bentuk seperti hikayat, syair, pantun, dan cerita rakyat.
Sementara itu, sastra Melayu modern berkembang pada abad ke-20, terutama setelah terjadinya peralihan sosial, politik, dan budaya, baik di Indonesia, Malaysia, maupun wilayah Melayu lainnya. Sastra ini dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Barat, nasionalisme, serta perubahan-perubahan yang terjadi akibat penjajahan dan revolusi sosial. Sastra Melayu modern mencakup genre seperti novel, cerpen, puisi modern, dan esai, dengan lebih banyak mengangkat tema-tema kontemporer dan sering kali menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan lugas dibandingkan dengan sastra klasik.
2. Ciri Khas Sastra Melayu Klasik
Sastra Melayu klasik memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dengan sastra modern. Beberapa ciri utama sastra Melayu klasik antara lain:
a. Pengaruh Agama dan Kepercayaan Lokal
Salah satu ciri utama dari sastra Melayu klasik adalah pengaruh kuat dari agama Islam dan kepercayaan lokal, seperti animisme dan Hindu-Buddha. Agama Islam yang masuk ke dunia Melayu pada abad ke-13 membawa banyak perubahan, termasuk dalam karya-karya sastra. Misalnya, karya-karya Hamzah Fansuri yang menggabungkan ajaran sufisme dengan sastra Melayu (Zubaidah, 2017).
Selain itu, banyak karya sastra Melayu klasik yang mengandung ajaran moral dan etika sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan yang berlaku pada masa itu. Banyak hikayat dan syair yang menekankan nilai-nilai kesetiaan, keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan, yang merupakan refleksi dari ajaran agama dan budaya Melayu.
b. Bentuk Sastra yang Terstruktur
Bentuk-bentuk sastra Melayu klasik juga sangat khas dan terstruktur. Hikayat adalah salah satu bentuk yang paling terkenal, berupa prosa naratif yang berisi kisah kepahlawanan, sejarah, atau perjalanan spiritual. Selain itu, syair adalah bentuk puisi yang digunakan untuk menyampaikan ajaran moral atau menggambarkan perasaan hati.
Banyak karya sastra Melayu klasik ditulis dengan menggunakan pantun, sebuah bentuk puisi berima yang terdiri dari empat baris, dengan rima a-b-a-b. Pantun digunakan dalam berbagai kesempatan, seperti dalam syair cinta, nasihat, hingga peribahasa.
c. Penggunaan Bahasa yang Puitis dan Bermakna
Sastra Melayu klasik memiliki bahasa yang sangat puitis dan penuh dengan simbolisme. Bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra klasik cenderung lebih rumit dan menggunakan banyak metafora, perbandingan, dan perumpamaan. Tujuannya adalah untuk memberikan kedalaman makna dalam setiap karya, baik itu berupa syair, hikayat, maupun pantun.
Sebagai contoh, dalam karya Hamzah Fansuri, penggunaan bahasa yang sarat dengan metafora sufi menjadi ciri khas dari gaya penulisannya (Hasan, 2015). Hal ini berbeda dengan sastra modern yang cenderung menggunakan bahasa yang lebih lugas dan langsung.
d. Tema Kehidupan dan Mitos
Sastra Melayu klasik seringkali mengangkat tema-tema kehidupan yang melibatkan mitologi, kepahlawanan, dan cerita rakyat. Banyak karya yang berbicara tentang pertempuran antara kebaikan dan kejahatan, kesetiaan seorang pahlawan kepada raja, atau kisah-kisah heroik yang melibatkan tokoh-tokoh legendaris seperti Hang Tuah atau Tun Seri Lanang.
Cerita-cerita ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai moral dan etika kepada masyarakat pada masa itu. Banyak di antaranya yang mengandung pelajaran tentang kesetiaan, keberanian, keadilan, dan kebijaksanaan.
Referensi:
- Zubaidah, S. (2017). Hamzah Fansuri: Penerjemah Sufi dalam Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Sufi.
- Hasan, M. (2015). Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri: Sufi dan Pengaruhnya dalam Sastra Melayu Klasik. Aceh: Yayasan Ilmu Pengetahuan.
3. Ciri Khas Sastra Melayu Modern
Sastra Melayu modern mulai berkembang pada abad ke-20 dan merupakan hasil dari perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Melayu, baik dalam bidang politik, sosial, maupun ekonomi. Beberapa ciri utama sastra Melayu modern adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Barat dan Nasionalisme
Sastra Melayu modern sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Barat, baik itu dalam bidang sastra, filsafat, maupun politik. Penjajahan oleh bangsa Eropa, terutama oleh Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia, membawa banyak perubahan dalam dunia sastra Melayu. Penulis-penulis seperti Abdullah Munsyi dan Azizi Haji Ibrahim mulai menulis karya-karya yang lebih mencerminkan pandangan hidup yang lebih rasional dan realistis, terpengaruh oleh pemikiran Barat (Junus, 2000).
Selain itu, sastra Melayu modern banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme yang berkembang di Asia Tenggara pada awal abad ke-20. Penulis-penulis seperti Muhammad Yamin dan Chairil Anwar banyak menulis karya-karya yang mengangkat semangat perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan.
b. Tema Kontemporer dan Realisme
Sastra Melayu modern lebih banyak mengangkat tema-tema yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan sastra Melayu klasik yang seringkali mengangkat tema-tema kepahlawanan dan mitologi, sastra Melayu modern banyak mengangkat isu-isu sosial, politik, dan budaya yang relevan dengan kehidupan masyarakat pada masa itu. Karya-karya novelis seperti Pramoedya Ananta Toer (Indonesia) dan Shahnon Ahmad (Malaysia) seringkali berbicara tentang konflik sosial, kemiskinan, ketidakadilan, dan perjuangan rakyat.
Dalam sastra Melayu modern, terdapat pula kecenderungan untuk menggambarkan kehidupan dengan lebih realistis. Penulis lebih menyoroti kondisi masyarakat, karakter-karakter yang lebih kompleks, serta situasi sosial yang lebih nyata dan dapat dijangkau pembaca.
c. Bahasa yang Sederhana dan Lugas
Berbeda dengan sastra Melayu klasik yang menggunakan bahasa yang penuh dengan metafora dan simbolisme, sastra Melayu modern cenderung menggunakan bahasa yang lebih sederhana, lugas, dan mudah dipahami oleh pembaca. Gaya bahasa ini lebih praktis dan sesuai dengan kebutuhan pembaca yang semakin kritis dan menginginkan karya sastra yang dapat menggambarkan realitas hidup dengan jujur dan jelas.
Selain itu, dengan adanya pengaruh bahasa asing, terutama bahasa Inggris, banyak penulis sastra Melayu modern yang mengadopsi kata-kata atau konsep-konsep dari bahasa tersebut dalam karya-karya mereka.
Referensi:
- Junus, A. (2000). Abdullah Munsyi dan Perkembangan Sastra Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Yamin, M. (2010). Sastra Nasionalisme dan Identitas Bangsa. Jakarta: Pustaka Nasional.
4. Perbandingan Sastra Melayu Klasik dan Sastra Melayu Modern
Sastra Melayu klasik dan sastra Melayu modern merupakan dua fase yang sangat penting dalam sejarah sastra Melayu. Meskipun keduanya berasal dari akar budaya yang sama, ada perbedaan signifikan dalam hal bentuk, bahasa, tema, dan pengaruhnya. Sastra Melayu klasik lebih dipengaruhi oleh agama Islam, mitologi, dan nilai-nilai tradisional, sementara sastra Melayu modern lebih dipengaruhi oleh pemikiran Barat, semangat nasionalisme, dan realisme sosial. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana sastra berkembang seiring dengan perubahan dalam masyarakat dan kebudayaan Melayu.
Referensi:
- Zubaidah, S. (2017). Hamzah Fansuri: Penerjemah Sufi dalam Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka Sufi.
- Hasan, M. (2015). Syeikh Abdul Rauf al-Fansuri: Sufi dan Pengaruhnya dalam Sastra Melayu Klasik. Aceh: Yayasan Ilmu Pengetahuan.
- Junus, A. (2000). Abdullah Munsyi dan Perkembangan Sastra Melayu Modern. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
- Yamin, M. (2010). Sastra Nasionalisme dan Identitas Bangsa. Jakarta: Pustaka Nasional.