Pengertian Majalah – Dari asal katanya, majalah berasal dari kata magazine yang berarti storehouse atau gudang. Dikatakan gudang karena majalah menampung segala jenis tulisan seperti: artikel, puisi, cerita pendek, sketsa, berita dan sebagainya dengan gaya penulisan feature. Pada abad 21 majalah mengalami kemajuan dengan ditandai semakin menarik isi majalah. Pada awal penerbitannya, majalah hanya berupa katalog dari buku - buku yang saat itu akan dijual. Lama-kelamaan sudah dilengkapi dengan essay, artikel dan ulasan yang sifatnya umum serta ditujukan untuk umum.
Merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, pengertian majalah adalah sebuah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai laporan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketah ui pembaca dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan dan sebagainya, dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, majalah wanita, remaja, olah raga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu dan sebagainya.
Meskipun majalah dan surat kabar sama-sama sebagai media cetak, majalah tetap dapat dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik sendiri sehingga dapat diketahui perbedaan surat kabar dan majalah, antara lain:
a. Penyajiannya lebih dalam
Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi mingguan, bahkan sebulanan. Berita - berita dalam majalah disajikan lebih lengkap, karena dibubuhi latar belakangperistiwa dikemukakan secara kronologis.
b. Nilai aktual lebih lama
Apabila aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari, maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu bahkan lebih. Kita tidak akan menganggap usang majalah yang terbit dua atau tiga hari yang lalu. Sebagaimana kita alami bersama, membaca majalah tidak akan tuntas dalam sehari saja.
c.Lebih banyak gambar atau foto
Jumlah halaman majalah yang lebih banyak, sehingga selain penyajian beritanya yang mendalam, majalah juga menampilkan gambar atau foto yang lengkap, dengan ukuran kertas yang kadang berwarna, serta kualitas kertas yang lebih baik daripada surat kabar. Foto- fo to yang ditampilkan di majalah biasanya memiliki daya tarik tersendiri, apalagi bila foto tersebut sifatnya eksklusif.
d. Cover (sampul) sebagai daya tarik
Cover atau sampul majalah merupakan daya tarik tersendiri selain foto. Cover ibarat pakaian dan aksesorisnya pada manusia. Cover majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik. Menarik tidaknya cover suatu majalah sangat bergantung pada tipe majalah serta konsistensi majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya.
Majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya. Kurniawan Junaedhie (2010:13) memaparkan tentang pengertian majalah bahwa semua produk media cetak yang bisa disebut majalah adalah:
Surat kabar dan majalah digolongkan sebagai pers dalam arti sempit. Majalah adalah salah satu media yuang dalam penerbitannya berlangsung secara periodic, dan ini merupakan salah satu syarat penerbiutan sebuah majalah. Majalah adalah tempat penyimpanan berita dan artikel yang diterbitkan secara berkala, atau memiliki sistem periodik dalam penerbitannya.
Berbeda dengan surat kabar, majalah telah jauh lebih menspesialisasikan produknya untuk menjangkau konsumen tertentu. Setiap majalah umumnya mempunyai pembaca jauh lebih sedikit daripada pembaca surat kabar, namun memiliki pasar yang lebih mengelompok. Usia majalah jauh lebih panjang dari usia surat kabar. Majalah memiliki kedalaman isi yang jauh berbeda dengan surat kabar yang hanya menyajikan berita. Disamping itu, majalah menemani pembaca dengan menyajikan cerita atas berbagai kejadian dengan tekanan pada unsur menghibur atau mendidik.
Sejarah Majalah di Indonesia
Ketika Perang Dunia II meletus, Jepang menduduki Indonesia dan pada tahun 1942 penerbitan pers ditutup, namun ada juga yang masih terbit tapi di bawah pengawasan ketat Jepang. Pada masa itu keluar UU penguasa No. 16 (Osamu Seiri) tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan. Pasal 3 UU tersebut berbunyi:
”Terlarang menerbitkan barang tjetakan jang berhoeboeng dengan pengoemoeman ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak tertentoe waktoenja, ketjoeali oleh badan-badan jang soedah medapat izin.”
Pada masa menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, media cetak termasuk majalah yang diterbitkan pada masa itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. Terjadi banyak pembredelan surat kabar karena isinya yang bersifat propaganda bagi pemerintah pada waktu itu, seperti surat kabar Berita Indonesia, Harian Rakyat, dan Soeara Indonesia.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan, penerbitan majalah mulai marak kembali meskipun isinya mulai bergeser. Jika di zaman pra-kemerdekaan penerbitan majalah menyuarakan semangat gerakan kebangsaan, maka pada masa itu penerbitan pers menyuarakan semangat untuk mempertahankan kemerdekan.
Majalah-majalah yang terbit pada masa itu antara lain, Pantja Raja, Pembangoenan Indonesia, dan Siasat. Sementara itu, pada Oktober 1945 di Ternate terbit majalah Menara Merdeka. Asas dan tujuan majalah ini adalah pro proklamasi, dan karenanya dikenal sebagai majalah yang membawakan suara kaum Republiken. Majalah-majalah lain yang menonjol pada masa itu antara lain, Pesat pimpinan MI Sajoeti (Sajoeti Malik) yang terbit di Yogyakarta dan Pedoman, pimpinan Sugardo dan Henk Rondonumu.
Di Indonesia, keberadaan majalah mulai dikenal pada masa menjelang dan pada awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Panja Raja pimpinan Markoem Djojo Hadisoeparto. Pada masa awal kemerdekaan, lahir Majalah Revue Indonesia yang diterbitkan oleh Soemanang, SH. Kehadiran majalah ini telah mengemukakan gagasannya perlunya koordinasi penerbitan majalah dan surat kabar yang jumlahnya sudah mencapai ratusan dengan satu tujuan, yaitu menghancurakan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional utnuk keabadian kemerdekaan bangsa, dan penegakan kedaulatan rakyat.
Pada zaman Orde Lama, Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Pada masa ini perkembangan majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah yang terbit. Pada zaman Orde Baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya.
Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju. Meski demikian, pada masa ini sempat diwarnai pembredielan beberapa majalah dan pengekangan kebebasan pers oleh pemerintah, salah satunya lewat prosedur perizinan (SIUPP).
Pada awal abad 20, muncul organisasi pergerakan kemerdekaan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij. Mereka butuh corong untuk menyampaikan program organisasi. Boedi Oetomo menerbitkan Majalah Retno Doemilah dalam bahasa Melayu Jawa, dan Soeara Goeroe. Tahun 1907 di Bandung terbit Majalah Medan Prijaji yang dipimpin RM Tirtoadisoerjo, yang sebelumnya menerbitkan Majalah Soenda Berita. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (1963:9) perkembangan produk media cetak ini dapat dilihat dengan lahirnya organisasi bercorak politik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa .
Di masa-masa itulah terbit banyak majalah, yang kebanyakan isunya mengenai pergerakan kemerdekaan. Akhir 1910, Douwes Dekker menerbitkan majalah dwi mingguan Het Tijdschrift yang sangat radikal pembahasan politiknya dengan menyerukan aksi melawan kolonial. Pada tahun 1913, giliran Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan Majalah De Indier. RM Soewardi Soerjaningrat mendirikan Hindia Poetra, memakai bahasa pengantar Belanda. Majalah ini berubah menjadi Indonesia Merdeka, yang kemudian terbit dalam dua bahasa.
Peredarannya sangat luas, hingga ke Jerman, India, Mesir, Malaya, dan Prancis. Pembacanya mulai dari guru, kalangan swasta, mahasiswa, pejabat belanda dan Indonesia, redaksi surat kabar, dan sebagainya. Balai Poestaka, salah satu penerbit tertua, juga menerbitkan beberapa majalah untuk rakyat, antara lain Majalah Pandji Poestaka, Majalah Kedjawen dan Parahijangan, majalah anak-anak berbahasa Melayu Taman Kanak-Kanak, dan yang berbahasa Jawa Taman Botjah. Majalah-majalah lain yang terbit dalam kurun ini antara lain: Fikiran Rakjat milik Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Daulat Ra’jat (diterbitkan Bung Hatta). Lalu, muncul pula Majalah Weekblad Sin Po tahun 1923 yang merupakan terbitan grup Sin Po. Di majalah mingguan ini pula naskah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman untuk pertama kalinya dimunculkan.
Tercatat, hinggga tahun 1920-an, sudah ada 127 majalah dan surat kabar. Setelah era ini, masih ada lagi majalah tri wulanan De Chineesche Revue (1927), Timboel (membahas soal budaya, tahun 1930-an), hingga Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan (diasuh HAMKA), serta Pandji Islam. Dari segi bisnis, disebutkan bahwa mutu kebanyakan majalah masih amat rendah, mengingat situasi yang tak memungkinkan perolehan iklan waktu itu.
Selama lebih sepuluh tahun pasca kemerdekaan (1950-an), tercatat jumlah mingguan dan majalah berkala yang beredar sebanyak 226 judul, sementara surat kabar berbahasa Indonesia 67 judul, bahasa Belanda 11 judul, dan Cina 15 judul.
Majalah merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya dimana pembacanya diharapkan akan mendapatkan gambaran yang utuh mengenai segala sesuatu yang sedang berkembang saat itu. Oleh karenanya majalah dapat dikatakan sebagai penemuan yang fenomenal. Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika Serikat pada pertengahan 1930 -an memperoleh kesuksesan besar. Majalalah telah mampu membuat segmentasi pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam media cetak di Amerika Serikat. Munculnya majalah-majalah seperti Scentific American, Psychology Today, dan Playboy secara aktif membentuk pembaca baru (Dominick, 2000:209).
Majalah bisa menarik karena sifatnya yang lama dalam pengertian bahwa informasi yang dipublikasikan tersebut bisa disimpan tanpa harus melakukan ‘recording’ sebagaimana dalam media massa siaran, dan kemudian informasi tersebut bisa mudah didapatkan kembali sewaktu- waktu diperlukan. Dengan demikian media massa cetak bukan merupakan media komunikasi, informasi, dan persuasi yang lewat begitu saja sebagaimana yang terjadi dalam media massa siaran baik radio maupun televisi. Di sinilah letak kekuatan media massa cetak khususnya majalah.
Demikian penjelasan pengertian majalah dan sejarah perkembangan majalah di Indonesia. Media massa cetak dalam bentuk majalah telah lama dikenal masyarakat. Media massa cetak dalam hal ini majalah, merupakan sarana komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi selengkap dan semenarik mungkin. Informasi - informasi yang terdapat pada majalah dikemas sedemikian rupa dalam aneka bentuk publikasi sepertu liputan berita, liputan khusus, features, iklan, dan lain - lainnya sehingga menjadi menarik.
Meskipun majalah dan surat kabar sama-sama sebagai media cetak, majalah tetap dapat dibedakan dengan surat kabar karena majalah memiliki karakteristik sendiri sehingga dapat diketahui perbedaan surat kabar dan majalah, antara lain:
a. Penyajiannya lebih dalam
Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi mingguan, bahkan sebulanan. Berita - berita dalam majalah disajikan lebih lengkap, karena dibubuhi latar belakangperistiwa dikemukakan secara kronologis.
b. Nilai aktual lebih lama
Apabila aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari, maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu bahkan lebih. Kita tidak akan menganggap usang majalah yang terbit dua atau tiga hari yang lalu. Sebagaimana kita alami bersama, membaca majalah tidak akan tuntas dalam sehari saja.
c.Lebih banyak gambar atau foto
Jumlah halaman majalah yang lebih banyak, sehingga selain penyajian beritanya yang mendalam, majalah juga menampilkan gambar atau foto yang lengkap, dengan ukuran kertas yang kadang berwarna, serta kualitas kertas yang lebih baik daripada surat kabar. Foto- fo to yang ditampilkan di majalah biasanya memiliki daya tarik tersendiri, apalagi bila foto tersebut sifatnya eksklusif.
d. Cover (sampul) sebagai daya tarik
Cover atau sampul majalah merupakan daya tarik tersendiri selain foto. Cover ibarat pakaian dan aksesorisnya pada manusia. Cover majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik. Menarik tidaknya cover suatu majalah sangat bergantung pada tipe majalah serta konsistensi majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya.
Majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya. Kurniawan Junaedhie (2010:13) memaparkan tentang pengertian majalah bahwa semua produk media cetak yang bisa disebut majalah adalah:
- Media cetak yang terbit secara berkala, tapi bukan yang terbit setiap hari.
- Media cetak itu bersampul, setidak-tidaknya punya wajah, dan dirancang secara khusus.
- Media cetak itu dijilid atau sekurang-kurangnya memiliki sejumlah halaman tertentu.
- Media cetak itu, harus berformat tabloid, atau saku, atau format konvensional sebagaimana format majalah yang kita kenal selama ini.
Surat kabar dan majalah digolongkan sebagai pers dalam arti sempit. Majalah adalah salah satu media yuang dalam penerbitannya berlangsung secara periodic, dan ini merupakan salah satu syarat penerbiutan sebuah majalah. Majalah adalah tempat penyimpanan berita dan artikel yang diterbitkan secara berkala, atau memiliki sistem periodik dalam penerbitannya.
Berbeda dengan surat kabar, majalah telah jauh lebih menspesialisasikan produknya untuk menjangkau konsumen tertentu. Setiap majalah umumnya mempunyai pembaca jauh lebih sedikit daripada pembaca surat kabar, namun memiliki pasar yang lebih mengelompok. Usia majalah jauh lebih panjang dari usia surat kabar. Majalah memiliki kedalaman isi yang jauh berbeda dengan surat kabar yang hanya menyajikan berita. Disamping itu, majalah menemani pembaca dengan menyajikan cerita atas berbagai kejadian dengan tekanan pada unsur menghibur atau mendidik.
Sejarah Majalah di Indonesia
Ketika Perang Dunia II meletus, Jepang menduduki Indonesia dan pada tahun 1942 penerbitan pers ditutup, namun ada juga yang masih terbit tapi di bawah pengawasan ketat Jepang. Pada masa itu keluar UU penguasa No. 16 (Osamu Seiri) tentang pengawasan badan-badan pengumuman dan penerangan. Pasal 3 UU tersebut berbunyi:
”Terlarang menerbitkan barang tjetakan jang berhoeboeng dengan pengoemoeman ataoe penerangan baik jang beroepa penerbitan setiap hari, setiap minggoe, setiap boelan maoepoen penerbitan dengan tidak tertentoe waktoenja, ketjoeali oleh badan-badan jang soedah medapat izin.”
Pada masa menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, media cetak termasuk majalah yang diterbitkan pada masa itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. Terjadi banyak pembredelan surat kabar karena isinya yang bersifat propaganda bagi pemerintah pada waktu itu, seperti surat kabar Berita Indonesia, Harian Rakyat, dan Soeara Indonesia.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan, penerbitan majalah mulai marak kembali meskipun isinya mulai bergeser. Jika di zaman pra-kemerdekaan penerbitan majalah menyuarakan semangat gerakan kebangsaan, maka pada masa itu penerbitan pers menyuarakan semangat untuk mempertahankan kemerdekan.
Majalah-majalah yang terbit pada masa itu antara lain, Pantja Raja, Pembangoenan Indonesia, dan Siasat. Sementara itu, pada Oktober 1945 di Ternate terbit majalah Menara Merdeka. Asas dan tujuan majalah ini adalah pro proklamasi, dan karenanya dikenal sebagai majalah yang membawakan suara kaum Republiken. Majalah-majalah lain yang menonjol pada masa itu antara lain, Pesat pimpinan MI Sajoeti (Sajoeti Malik) yang terbit di Yogyakarta dan Pedoman, pimpinan Sugardo dan Henk Rondonumu.
Di Indonesia, keberadaan majalah mulai dikenal pada masa menjelang dan pada awal kemerdekaan Indonesia. Tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Panja Raja pimpinan Markoem Djojo Hadisoeparto. Pada masa awal kemerdekaan, lahir Majalah Revue Indonesia yang diterbitkan oleh Soemanang, SH. Kehadiran majalah ini telah mengemukakan gagasannya perlunya koordinasi penerbitan majalah dan surat kabar yang jumlahnya sudah mencapai ratusan dengan satu tujuan, yaitu menghancurakan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional utnuk keabadian kemerdekaan bangsa, dan penegakan kedaulatan rakyat.
Pada zaman Orde Lama, Penguasa Perang Tertinggi mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Pada masa ini perkembangan majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah yang terbit. Pada zaman Orde Baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya.
Hal ini sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju. Meski demikian, pada masa ini sempat diwarnai pembredielan beberapa majalah dan pengekangan kebebasan pers oleh pemerintah, salah satunya lewat prosedur perizinan (SIUPP).
Pada awal abad 20, muncul organisasi pergerakan kemerdekaan seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij. Mereka butuh corong untuk menyampaikan program organisasi. Boedi Oetomo menerbitkan Majalah Retno Doemilah dalam bahasa Melayu Jawa, dan Soeara Goeroe. Tahun 1907 di Bandung terbit Majalah Medan Prijaji yang dipimpin RM Tirtoadisoerjo, yang sebelumnya menerbitkan Majalah Soenda Berita. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (1963:9) perkembangan produk media cetak ini dapat dilihat dengan lahirnya organisasi bercorak politik yang mencita-citakan kemajuan dan kemerdekaan bangsa .
Di masa-masa itulah terbit banyak majalah, yang kebanyakan isunya mengenai pergerakan kemerdekaan. Akhir 1910, Douwes Dekker menerbitkan majalah dwi mingguan Het Tijdschrift yang sangat radikal pembahasan politiknya dengan menyerukan aksi melawan kolonial. Pada tahun 1913, giliran Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan Majalah De Indier. RM Soewardi Soerjaningrat mendirikan Hindia Poetra, memakai bahasa pengantar Belanda. Majalah ini berubah menjadi Indonesia Merdeka, yang kemudian terbit dalam dua bahasa.
Peredarannya sangat luas, hingga ke Jerman, India, Mesir, Malaya, dan Prancis. Pembacanya mulai dari guru, kalangan swasta, mahasiswa, pejabat belanda dan Indonesia, redaksi surat kabar, dan sebagainya. Balai Poestaka, salah satu penerbit tertua, juga menerbitkan beberapa majalah untuk rakyat, antara lain Majalah Pandji Poestaka, Majalah Kedjawen dan Parahijangan, majalah anak-anak berbahasa Melayu Taman Kanak-Kanak, dan yang berbahasa Jawa Taman Botjah. Majalah-majalah lain yang terbit dalam kurun ini antara lain: Fikiran Rakjat milik Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Daulat Ra’jat (diterbitkan Bung Hatta). Lalu, muncul pula Majalah Weekblad Sin Po tahun 1923 yang merupakan terbitan grup Sin Po. Di majalah mingguan ini pula naskah lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman untuk pertama kalinya dimunculkan.
Tercatat, hinggga tahun 1920-an, sudah ada 127 majalah dan surat kabar. Setelah era ini, masih ada lagi majalah tri wulanan De Chineesche Revue (1927), Timboel (membahas soal budaya, tahun 1930-an), hingga Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan (diasuh HAMKA), serta Pandji Islam. Dari segi bisnis, disebutkan bahwa mutu kebanyakan majalah masih amat rendah, mengingat situasi yang tak memungkinkan perolehan iklan waktu itu.
Selama lebih sepuluh tahun pasca kemerdekaan (1950-an), tercatat jumlah mingguan dan majalah berkala yang beredar sebanyak 226 judul, sementara surat kabar berbahasa Indonesia 67 judul, bahasa Belanda 11 judul, dan Cina 15 judul.
Majalah merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya dimana pembacanya diharapkan akan mendapatkan gambaran yang utuh mengenai segala sesuatu yang sedang berkembang saat itu. Oleh karenanya majalah dapat dikatakan sebagai penemuan yang fenomenal. Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika Serikat pada pertengahan 1930 -an memperoleh kesuksesan besar. Majalalah telah mampu membuat segmentasi pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam media cetak di Amerika Serikat. Munculnya majalah-majalah seperti Scentific American, Psychology Today, dan Playboy secara aktif membentuk pembaca baru (Dominick, 2000:209).
Majalah bisa menarik karena sifatnya yang lama dalam pengertian bahwa informasi yang dipublikasikan tersebut bisa disimpan tanpa harus melakukan ‘recording’ sebagaimana dalam media massa siaran, dan kemudian informasi tersebut bisa mudah didapatkan kembali sewaktu- waktu diperlukan. Dengan demikian media massa cetak bukan merupakan media komunikasi, informasi, dan persuasi yang lewat begitu saja sebagaimana yang terjadi dalam media massa siaran baik radio maupun televisi. Di sinilah letak kekuatan media massa cetak khususnya majalah.
Demikian penjelasan pengertian majalah dan sejarah perkembangan majalah di Indonesia. Media massa cetak dalam bentuk majalah telah lama dikenal masyarakat. Media massa cetak dalam hal ini majalah, merupakan sarana komunikasi yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi selengkap dan semenarik mungkin. Informasi - informasi yang terdapat pada majalah dikemas sedemikian rupa dalam aneka bentuk publikasi sepertu liputan berita, liputan khusus, features, iklan, dan lain - lainnya sehingga menjadi menarik.