Asuransi Syariah Vs Konvensional dan Hukumnya Menurut Islam



Asuransi Menurut Islam – Sebelum menguraikan perbedaan asuransi syariah dan konvensional, perlu kiranya memahami bagaimana pandangan Islam tentang Asuransi. Al-Qur’an sendiri tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan tentang praktek asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi secara nyata dalam Al-Qur’an.

Walaupun begitu Al-Qur'an masih mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktek asuransi, seperti nilai dasar tolong menolong, kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian dimasa yang akan datang. Dalil tersebut antara lain dalam surat al-Maidah ayat 2 yang berbunyi: “… Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman dalam surat al-Hasyr: 18 yang artinya: Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.

Asuransi menurut Islam diperkuat juga dengan hadits tentang anjuran meninggalkan ahli waris dalam keadaan kaya. Sabda Nabi yang berbunyi: Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban orang banyak (H.R.Bukhori)

Masih banyak dalil-dalil berhubungan dengan asuransi menurut islam dimana disimpulkan bahwa asuransi syariah tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Asuransi syariah merupakan salah satu bentuk muamalah yang bermanfaat bagi umat manusia dan tidak ada keraguan di dalamnya.

Hukum Asuransi Syariah : Halal atau Haram ?

Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. Orang yang melakukan asuransi sama halnya dgn orang yang mengingkari rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan rezeki kepada makhluk-Nya sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Dan tidak ada suatu binatang melata pun dibumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” “?dan siapa yang memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan ??” “Dan kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keprluan hidup dan makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya.” Dari ketiga ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah sebenarnya telah menyiapkan segala-galanya utk keperluan semua makhluk-Nya termasuk manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Allah telah menyiapkan bahan mentah bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolahnya mencarinya dan mengikhtiarkannya. Orang yang melibatkan diri ke dalam asuransi ini adalah merupakan salah satu ikhtiar utk mengahdapi masa depan dan masa tua. Namun karena masalah asuransi ini tidak ada dijelaskan secara tegas dalam nash maka masalahnya dipandang sebagai masalah ijtihadi yaitu masalah perbedaan pendapat dan sukar dihindari dan perbedaan pendapat tersebut juga mesti dihargai. Perbedaan pendapat itu terlihat pada uraian berikut

Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya temasuk asuransi jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq Abdullah al-Qalqii Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i . Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
  • Asuransi sama dengan judi
  • Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
  • Asuransi mengandung unsur riba/renten.
  • Asuransi mengandung unsur pemerasan krn pemegang polis apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya akan hilang premi yang sudah dibayar atau di kurangi.
  • Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
  • Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
  • Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis dan sama halnya dgn mendahului takdir Allah.
Asuransi diperbolehkan dalam praktek seperti sekarang. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf Mustafa Akhmad Zarqa Muhammad Yusuf Musa dan Abd. Rakhman Isa. Mereka beralasan:
  • Tidak ada nash yang melarang asuransi.
  • Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
  • Saling menguntungkan kedua belah pihak.
  • Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum sebab premi-premi yang terkumpul dapat di investasikan utk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
  • Asuransi termasuk akad mudhrabah
  • Asuransi termasuk koperasi .
  • Asuransi di analogikan dengan sistem pensiun seperti taspen.
Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abdu Zahrah. Alasan kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial dan sama pula dgn alasan kelompok kedua dalam asuransi yang bersifat sosial . Alasan golongan yang mengatakan asuransi syubhat adalah karena tidak ada dalil yang tegas haram atau tidak haramnya asuransi itu. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah asuransi yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini masih ada yang mempertanyakan dan mengundang keragu-raguan sehingga sukar utk menentukan yang mana yang paling dekat kepada ketentuan hukum yang benar.

Sekiranya ada jalan lain yang dapat ditempuh tentu jalan itulah yang pantas dilalui. Jalan alternatif baru yang ditawarkan adalah asuransi menurut ketentuan agama Islam. Dalam keadaan begini sebaiknya berpegang kepada sabda Nabi Muhammad SAW “Tinggalkan hal-hal yang meragukan kamu kepada hal-hal yang tidak meragukan kamu.”

Berkaitan dengan hukum asuransi syariah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan sebuah lembaga yang mengeluarkan fatwa tentang halal dan haram suatu masalah bagi umat Islam di Indonesia. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berhubungan dengan asuransi syariah antara lain:
  • Fatwa No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
  • Fatwa No: 51/ DSN-MUI/ III / 2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah Pada Asuransi Syariah.
  • Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.
  • Fatwa No: 53/DSN-MUI/III/2006, tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional

Terdapat sejumlah perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional yang dijelaskan dalam beberapa aspek berikut:

1. Konsep

Dalam asuransi konvensional, konsepnya adalah untuk mengurangi risiko individu atau institusi (tertanggung) dan mengalihkannya kepada perusahaan asuransi (penanggung) melalui suatu perjanjian (kontrak). Tertanggung membayar sejumlah uang sebagai tanda perikatan, dan penanggung berjanji membayar ganti rugi sekiranya terjadi suatu peristiwa sebagaimana yang diperjanjikan dalam kontrak asuransi (polis).

Sedangkan konsep asuransi syariah adalah terjadinya saling memikul risiko di antara sesama peserta. Sehingga, antara satu peserta dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko yang muncul. Saling pikul risiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing peserta mengeluarkan dana tabarru’ atau dana kebajikan yang ditujukan untuk menanggung risiko. Definisi ini sesuai dengan Firman Allah yang tertuang dalam QS. Al-Maidah ayat 2, yang artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

2. Unsur Gharar, Maisir, dan Riba

Semua asuransi konvensional yang ada saat ini masih mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Gharar terjadi apabila, antara tertanggung danpenanggung saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, dan sebagainya. Inilah yang disebut gharar atau ketidakjelasan atau ketidakpastian yang dilarang dalam Islam, karena asuransi konvensional telah ‘menjual’ ketidakpastian dengan kepastian.

Secara harfiah, maisir memiliki makna memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Maisir disebut juga berjudi. Dalam industri asuransi konvensional, maisir dapat terjadi dalam tiga hal, yaitu:
  1. Ketika seorang pemegang polis mendadak terkena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi, nasabah diuntungkan.
  2. Sebaliknya, jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi secara penuh/lunas, maka perusahaanlah yang diuntungkan.
  3. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan atau uangnya dianggap hangus.
Riba secara teknis artinya adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Menurut Syeikh Yusuf Al-Qardhawi yang dikemukakan oleh Muhammad Syakir Sula (2004:299), asuransi konvensional itu sama dengan judi, karena tertanggung mengharapkan harta jaminan atau tanggungan melebihi jumlah pembayaran preminya. Oleh sebab itu, dalam asuransi tersebut juga ada unsur ribanya. Kemudian terdapat unsur gharar dalam perhitungan uang yang akan dikembalikan, karena sangat bergantung pada perkembangan saat tanggungan itu harus dibayarkan penanggung.

Asuransi syariah, harus terbebas dari tiga unsur tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam sistem operasional yang dilakukan, di mana dalam mekanisme pengelolaan dananya ada pemisahan antara dana perusahaan dengan dana tabarru’ peserta secara kolektif. Tujuan dari pemisahan ini untuk menghindarkan adanya pencampuran dana. Sehingga, asuransi syariah dapat terhindar dari maisir dan gharar. Adapun masalah riba dapat dieliminasi dengan menggunakaninstrumen syariah sebagai pengganti sistem riba, misalnya mudharabah, wadiah, wakalah, dan sebagainya.

Larangan terhadap berjudi terdapat dalam QS. Al-Maidah: 90 sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Sedangkan larangan terhadap riba terdapat dalam banyak ayat, salah satunya adalah seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:278-279 yakni: “Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

3. Dewan Pengawas Syariah

Asuransi konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk mengawasi hal-hal yang terkait dengan prinsip-prinsip muammalah serta akad-akad dalam transaksi asuransi. Namun demikian, bukan berarti asuransi konvensional tersebut tanpa aturan, karena ia diatur oleh negara di dalam Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Pemerintah.

Dewan Pengawas Syariah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Peran utamanya adalah untuk mengawasi jalannya operasional sehari-hari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah.

Fungsi DPS adalah: (1) melakukan pengawasan secara periodik pada LKS yang berada di bawah pengawasannya, (2) berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan LKS kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN, (3) melaporkan perkembangan produk dan operasional LKS yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran, (4) merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan DSN.

4. Akad atau Perjanjian

Akad pada asuransi konvensional adalah akad mu’awadhah, yaitu suatu kontrak atau perjanjian di mana pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima penggantian dari pihak yang diberinya. Penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uangpertangungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang telah dibayarkannya.

Dalam asuransi syariah, akad yang digunakan adalah akad tijarah dan/atau akad tabarru’. Akad tijarah yang dimaksud adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersil, misalnya mudharabah, musyarakah, kafalah, wakalah, dan jua’lah. Sedangkan akad tabarru’ adalah semua bentuk yang dilakukan untuk tujuan kebaikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersil. Dalam akad tabarru’, peserta memberikan derma dengan tujuan untuk membantu seseorang yang sedang dalam kesusahan yang sangat dianjurkan dalam syariat Islam.

5. Penanganan Risiko

Menurut Abdullah Amrin (2011:43), dalam asuransi konvensional, terjadi perpindahan risiko (transfer of risk) dari nasabah kepada perusahaan. Sebagai gantinya, perusahaan akan menerima uang premi dari nasabah, dan nasabah akan memperoleh perlindungan dari suatu kejadian. Premi asuransi tersebut merupakan prasyarat adanya perjanjian asuransi, karena tanpa adanya premi tidak akan ada asuransi (No Premium, No Insurance).

Menurut Syakir Sula (2004:303), proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah saling menanggung risiko (sharing of risk). Apabila terjadi musibah, maka semua

peserta asuransi syariah saling menanggung risiko tersebut. Dengan demikian, tidak terjadi perpindahan risiko dari peserta ke perusahaan karena dalam praktiknya, kontribusi (premi) yang dibayar oleh peserta tidak terjadi apa yangdisebut transfer of fund, karena status kepemilikan dana tersebut tetap melekat pada peserta sebagai pemilik dana.

6. Pengelolaan Dana

Dalam asuransi konvensional, tidak ada pemisahan antara dana peserta dengan dana tabarru’. Semua bercampur menjadi satu dan status dana tersebut menjadi dana perusahaan. Sebagai akibatnya, peserta tidak dapat dengan leluasa mengambil kembali dananya pada saat-saat mendesak untuk produk asuransi jiwa yang mengandung saving, kecuali dalam status meminjam (pinjaman polis).

Pada asuransi syariah, untuk produk-produk yang mengandung unsur saving (tabungan), dana yang dibayarkan peserta langsung dibagi ke dalam dua rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’. Kemudian total danadiinvestasikan, dan hasil investasi dibagi secara proporsional antara peserta dengan entitas pengelola berdasarkan skema bagi hasil yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan, total kontribusi dana dari peserta diinvestasikan, kemudian hasil investasi dibagi antara peserta dengan entitas pengelola sesuai skema bagi hasil yang telah ditetapkan.

7. Investasi Dana

Menurut peraturan pemerintah, investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi.

Sedangkan asuransi syariah hanya boleh menginvestasikan dananya kepada Bank-Bank Syariah, Obligasi Syariah, Pasar Modal Syariah, Leasing Syariah, Pegadaian Syariah, serta instrumen bisnis lainnya dengan tetap menggunakan akad-akad yang dibenarkan oleh syariat Islam.

8. Kepemilikan Dana

Dalam asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas menggunakan dan menginvestasikan dana tersebut kemana saja.

Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk kontribusi merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola. Dana tersebut, kecuali dana tabarru’, dapat diambil kapan saja oleh peserta dan tidak dikenakan biaya apapun.

9. Sumber Pembayaran Klaim

Pada asuransi konvensional, sumber pembayaran klaim adalah dari rekening perusahaan dan murni bisnis. Klaim yang dibayarkan perusahaan adalah bagian dari kewajiban imbal balik yang diatur dalam akad atau perjanjian asuransi.

Pada asuransi syariah, sumber pembayaran klaimnya diperoleh dari rekening tabarru’. Yaitu, rekening dana tolong-menolong dari seluruh peserta, yang sejak awal sudah diniatkan dengan ikhlas oleh peserta untuk keperluansaudara-saudaranya.

10. Keuntungan (Profit)

Pada asuransi konvensional, keuntungan diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi dalam satu tahun, yang kelak dalam RUPS akhir tahun dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan lagi kepada perusahaan sebagai penyertaan modal.

Profit pada asuransi syariah, diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi. Namun profit ini bukan seluruhnya milik perusahaan. Nantinya akan dilakukan bagi hasil antara perusahaan dengan peserta sebagaimana yang telah diperjanjikan. 
Demikian uraian berhubungan dengan asuransi menurut Islam dan perspektif hukum asuransi syariah serta penjelasan tentang perbedaan asuransi syariah dan konvensional dari berbagai sumber referensi. Baca pula: Perkembangan Asuransi Syariah di Indonesia. Semoga bermanfaat!